Pembatalan Perkawinan Menurut BW dan UU Nomor 1 Tahun 1974
Ditulis Oleh : Siti Hanifah, S.Ag., M.H. (Ketua Pengadilan Agama Wamena)
PENDAHULUAN
Suatu transaksi atau akad dikatakan sah bilamana dilaksanakan dengan melengkapi syarat rukunnya. Sebagai kelanjutannya, maka transaksi atau akad itu akan mempunyai kekuatan hukum dan akibat hukum yang pasti, sehingga masing-masing tidak boleh mundur dari transaksi atau akad tersebut kecuali oleh hal-hal yang secara hukum dapat dibenarkan. Suatu transaksi atau akad yang tidak memenuhi syarat rukunnya, hanya nampak di permukaan, tetapi dalam pandangan hukum belum dianggap ada/terlaksana[1].
Demikian pula akad nikah, ia dikatakan sah bilamana dilaksanakan dengan melengkapi syarat rukun nikah. Akad nikah yang sah, mempunyai kekuatan hukum di samping beberapa akibat hukum sebagai konsekwensi dari keabsahannya tersebut, antara lain halalnya bergaul sebagai suami isteri, suami wajib memberi nafkah kepada isteri, saling mewarisi, dan jika punya keturunan maka keturunan tersebut berhak atas segala sesuatu sebagai layaknya keturunan/ anak yang sah[2].
Dalam hal ini, ada beberapa persoalan pokok yang memerlukan jawaban; apakah suatu perkawinan yang pernah terjadi dapat dibatalkan di kemudian hari, kalau dapat dibatalkan, faktor-faktor apa saja yang membuat suatu akad nikah dapat dibatalkan, siapa yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan, dan apa akibat hukum dari pembatalan akad perkawinan tersebut ?
Terhadap beberapa persoalan tersebut, hukum positif tentang perkawinan (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974) telah memberikan ketentuan-ketentuan yang masih memerlukan pembahasan. Undang-undang ini yang merupakan upaya unifikasi di bidangnya sebagaimana ditegaskan sendiri dalam Pasal 66 menghapus segala aturan perundang-undangan lain di bidang perkawinan yang pernah ada yang diatur dalam KUH Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (HOCI, Stb 1933 No. 74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de Gemengde Huwelijken, Stb. 1898 No. 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini.
Namun demikian, sebagai bahan kajian ilmiah, meskipun ketentuan-ketentuan tentang perkawinan dalam BW telah dihapus, tulisan ini mengulas kembali ketentuan-ketentuan tersebut – khususnya yang berkaitan dengan pembatalan nikah. Pengkajian untuk mempersandingkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dengan BW ini sangat menarik karena tarik menarik yang demikian kuat antara dua konsep yang mempunyai perbedaan latar belakang dan filosofi yang sangat berbeda tersebut tetapi keduanya (terutama BW) mendominasi alam pikiran bangsa Indonesia dalam kurun waktu yang cukup lama.
PENGERTIAN PEMBATALAN PERKAWINAN
Arti pembatalan perkawinan ialah tindakan Pengadilan yang berupa putusan yang menyatakan perkawinan yang dilakukan itu dinyatakan tidak sah (no legal force ordeclared void), sehingga perkawinan tersebut dianggap tidak pernah ada (never existed)[3].
Dari pengertian tersebut, dapat ditarik beberapa kesimpulan :
- Bahwa perkawinan dianggap tidak sah (no legal force).
- Dengan sendirinya dianggap tidak pernah ada (never existed).
- Laki-laki dan perempuan yang dibatalkan perkawinannya tersebut dianggap tidak pernah kawin.
Dengan demikian, pembatalan perkawinan berbeda dengan pencegahan perkawinan dan perceraian. Pencegahan perkawinan merupakan tindakan agar perkawinan tidak terlaksana (perkawinan belum terjadi). Perceraian merupakan pembubaran perkawinan yang sah dan telah ada (perkawinan itu sudah terjadi), baik atas persetujuan bersama atau atas permintaan salah satu pihak. Sedang pada pembatalan perkawinan, bahwa perkawinan itu telah terjadi akan tetapi di belakang hari baru diketahui terdapat kekurangan-kekurangan yang menyangkut persyaratan yang ditentukan oleh aturan perundang-undangan[4].
Dengan kata lain, perkawinan tersebut mengandung cacat formil dan materiil, sehingga karenanya perkawinan tersebut dapat dibatalkan.
PEMBATALAN PERKAWINAN DALAM BURGERLIJK WETBOEK
Sebagaimana kita ketahui, BW atau yang kemudian dikenal dengan Kitab Undang-undang Hukum Perdata merupakan kitab hukum yang dibawa oleh penjajah Belanda dan diterapkan di Indonesia berdasarkan asas konkordansi. BW sendiri menurut sejarahnya, bersumber pada bahan-bahan hukum Jerman kuno, dan sebagiannya lagi bersumber pada “Code Vicil des Francais” Perancis yang berasal dari “Corpus Iuris Civilis” dari zaman Romawi kuno [5].
Sepanjang yang menyangkut perkawinan, BW menentukan syarat-syarat baik syarat materiil maupun syarat formil[6]. Syarat materiil diperinci menjadi syarat materiil absolut (syarat inti mutlak), dan syarat materiil relatif (syarat inti nisbi). Tidak dipenuhinya syarat-syarat ini dalam perkawinan, maka perkawinan dapat dimintakan pembatalan. Dengan kata lain, perkawinan tersebut tetap dianggap sah sampai dinyatakan batal[7].
Syarat materiil absolut adalah syarat yang mengenai pribadi seorang yang harus diindahkan untuk perkawinan pada umumnya. Syarat-syarat ini adalah :
- Monogami.
Yakni bahwa seorang laki-laki hanya dapat kawin dengan seorang perempuan saja, dan seorang perempuan hanya dapat kawin dengan seorang laki-laki (vide Pasal 27 KUH Perdata/BW). Prinsip ini merupakan pengaruh dari ajaran agama Kristen yang merupakan back-ground dari BW. Demikian pentingnya prinsip ini, hingga menjadi salah satu asas perkawinan.
- Persetujuan dari calon suami dan calon isteri.
Hal ini merupakan dasar dari kehendak bebas sebagaimana dituntut oleh setiap perjanjian (Pasal 28). Prinsip ini juga menjadi salah satu asas perkawinan sekaligus menegaskan bahwa perkawinan adalah suatu persetujuan.
- Orang yang hendak kawin harus memenuhi batas umur minimal.
Bagi laki-laki harus telah berumur 18 tahun, dan bagi wanita harus telah berumur 15 tahun (Pasal 29). Namun demikian, dimungkinkan terjadinya pelanggaran terhadap ketentuan ini sepanjang calon pengantin tersebut mendapatkan dispensasi dari Presiden/pemerintah melalui pejabat yang ditunjuk.
4. Masa tunggu 300 hari bagi janda yang hendak melangsungkan perkawinan.
Tenggang waktu ini berkaitan dengan usia terlama kehamilan seorang perempuan begitu perkawinannya bubar/dibubarkan (Pasal 34). Ketentuan ini hanya berlaku bagi perempuan dan tidak bagi laki-laki.
5. Izin dari orang tua (ayah/ibu) atau wali (bagi yang berada di bawah perwalian) bagi anak sah yang belum berumur 21 tahun (Pasal 35). Bagi anak yang lahir di luar kawin yang belum berumur 21 tahun, harus mendapat izin dari ayah dan/ ibu yang mengakuinya (Pasal 39). Ijin dari orang tua atau wali ini tidak dapat digantikan oleh ijin dari Pengadilan. Bagi orang yang telah dewasa tetapi belum mencapai umur 30 tahun masih juga diperlukan ijin dari ayah ibunya. Tetapi jika ijin tersebut tidak diberikan, orang tersebut dapat mengajukan permohonan ijin ke Pengadilan.
Syarat materiil relatif adalah berkaitan dengan ketentuan yang merupakan larangan bagi seseorang untuk kawin dengan orang-orang tertentu, yakni :
- Larangan kawin dengan orang yang sangat dekat di dalam kekeluargaan sedarah atau perkawinan sebagaimana dikehendaki oleh Pasal 30 dan 31.
- Larangan kawin dengan orang yang pernah menjadi partner melakukan zina. Hal ini dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 32.
- Larangan memperbaharui perkawinan setelah adanya perceraian jika belum lewat waktu 1 tahun. Ketentuan ini dapat dilihat dari Pasal 33 yang menegaskan; “jika perkawinan telah dibubarkan setelah adanya perpisahan meja dan ranjang, atau perceraian, bekas suami isteri tidak diperbolehkan kawin kembali kalau belum lewat waktu 1 tahun setelah pembubaran itu didaftarkan dalam register catatan sipil”.
Adapun syarat formil adalah syarat yang berkaitan dengan ketentuan-ketentuan formalitas atau prosedur yang bersifat administratif. Dalam hal ini dibedakan antara hal-hal yang harus dipenuhi sebelum dilangsungkan perkawinan, dan hal-hal yang harus dipenuhi pada saat proses perkawinan berlangsung.
Untuk hal-hal yang harus dipenuhi sebelum perkawinan berlangsung meliputi :
- Pemberitahuan tentang maksud untuk kawin (Pasal 50 dan 51). Yakni calon penganten harus memberitahukan maksudnya tersebut kepada Pegawai Catatan Sipil di tempat tinggalnya atau di salah satu dari dari kedua belah pihak, baik secara lesan maupun tertulis untuk dibuatkan akta tentang maksud kawin tersebut.
- Pengumuman tentang maksud untuk kawin (Pasal 52).
Pengumuman ini dilakukan dengan cara menempelkannya pada pintu utama dari gedung Catatan Sipil selama 10 hari.
Sedangkan syarat-syarat yang harus dipenuhi berbarengan atau pada saat proses perkawinan berlangsung adalah :
- Akta kelahiran, atau akta pengenal jika akta kelahiran tidak ada.
- Akta yang memuat izin untuk perkawinan dari mereka yang harus memberi izin, atau akta dimana ternyata telah ada perantara dari Pengadilan.
- Jika perkawinan itu untuk kedua kalinya, harus ada akta cerai atau akta kematian, atau izin dari Pengadilan dalam hal suami atau isteri yang dahulu tidak hadir.
- Bukti telah dilakukan pengumuman tentang maksud kawin dan tidak ada pencegahan.
- Dispensasi untuk kawin dalam hal dispensasi itu diperlukan.
Semua syarat-syarat tersebut di atas, baik syarat-syarat materiil maupun syarat-syarat formil harus dipenuhi dalam rangkaian peristiwa perkawinan, karena tidak dipenuhinya syarat-syarat atau sebagian syarat-syarat tersebut mengakibatkan perkawinan dapat dimintakan pembatalan kepada Hakim/Pengadilan
Tentang siapa yang berhak mengajukan pembatalan perkawinan, BW menyebut “orang yang karena perkawinan lebih dulu telah terikat dengan salah satu dari suami isteri, oleh suami isteri itu sendiri, oleh para keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas, oleh segala mereka yang berkepentingan atas kebatalan perkawinan tersebut, juga oleh instansi Kejaksaan”, tergantung bagaimana kasus perkawinan yang hendak dimintakan pembatalan tersebut (Pasal 86). Dalam hal pelanggaran terhadap Pasal 27 (prinsip monogami), pembatalan perkawinan dapat diajukan oleh :
- Suami/isteri dari perkawinan yang dahulu.
- Suami dan isteri dari perkawinan yang sekarang.
- Keluarga sedarah dalam garis ke atas.
- Siapa saja yang berkepentingan atas kebatalan perkawinan tersebut, termasuk oleh anak-anak dari perkawinan pertama.
- Kejaksaan.
Dalam hal seorang dari suami/isteri ditaruh di bawah pengampuan – karena kurang sehat pikirannya, pembatalan perkawinan dapat diajukan oleh :
- Keluarganya se darah dalam garis ke atas.
- Saudara-saudaranya, paman-pamannya dan bibi-bibinya.
- Pengampunya.
- Kejaksaan.
Jika belum mencapai umur yang disyaratkan, maka pembatalan perkawinan dapat diajukan oleh :
- Orang yang belum mencapai umur itu.
- Kejaksaan.
Dalam hal ini, Pasal 89 memberi penegasan, ketentuan tersebut tidak berlaku jika pada waktu tuntutan pembatalann diajukan ke muka Hakim, suami atau isteri tersebut atau keduanya telah mencapai umur yang disyaratkan. Dan jika si isteri meskipun belum mencapai umur telah mengandung.
Dalam hal perkawinan terjadi karena pelanggaran terhadap Pasal 30, 31, 32 dan 33, yakni hal-hal yang mengatur larangan perkawinan karena pertalian keluarga, karena berzina, perkawinan lagi sebelum lewat waktu 1 tahun dari perceraian, atau perkawinan yang ketiga kalinya dengan orang yang sama, maka pembatalan perkawinan tersebut dapat diajukan oleh :
- Suami atau isteri itu sendiri.
- Keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas.
- Mereka yang berkepentingan atas pembatalan itu.
- Kejaksaan.
Dalam hal perkawinan terjadi tanpa izin dari orang yang seharusnya memberi izin perkawinan, pembatalan perkawinan dapat diajukan oleh orang yang harus memberi izin tersebut. Meski demikian, jika orang yang seharusnya memberi izin itu dengan tegas atau diam-diam menyetujui perkawinan tersebut, atau jika telah lewat 6 bulan tidak ada penentangan setelah orang itu mengetahui adanya perkawinan, maka dia tidak diperbolehkan lagi mengajukan tuntutan pembatalan.
Dalam hal dilangsungkan di hadapan Pegawai Catatan Sipil yang tidak berwenang, atau tidak dihadiri oleh sejumlah saksi yang dipersyaratkan, maka pembatalan perkawinan tersebut dapat diajukan oleh :
- Suami/isteri itu sendiri.
- Keluarga sedarah dalam garis ke atas.
- Wali (wali pengawas).
- Mereka yang berkepentingan.
- Kejaksaan.
Namun demikian, Pasal 92 memberikan peluang kepada Hakim untuk mencari solusi bukan pembatalan dalam hal terjadi pelanggaran Pasal 70 (tentang bukti penghapusan pencegahan perkawinan berupa putusan Hakim) sepanjang mengenai keadaan saksi-saksi. Demikian juga, dalam hal terjadi perkawinan tanpa adanya kebebasan kata sepakat antara suami isteri atau kerena terjadi “error in persona” dalam perkawinan tersebut, maka Pasal 87 menegaskan, tuntutan pembatalan itu tidak dapat diterima jika suami isteri itu telah hidup berumah tangga secara berturut-turut tiga bulan lamanya, sejak suami isteri itu memperoleh kebebasannya dengan penuh dan semenjak kekhilafan “error in persona” itu diketahui.
Suatu perkawinan, walaupun sudah dibatalkan, tetap mempunyai segala akibat perdata, baik terhadap suami isteri, maupun terhadap anak-anak mereka sepanjang perkawinan tersebut dilakukan dengan itikad baik (Pasal 95). Tetapi jika itikad baik tersebut hanya ada pada satu orang saja dari suami-isteri tersebut, maka perkawinan tersebut hanya mempunyai akibat-akibat perdata yang menguntungkan bagi yang beritikad baik saja berikut anak-anaknya yang lahir dari perkawinan itu [8].
PEMBATALAN PERKAWINAN DALAM UU NOMOR 1 TAHUN 1974
Alasan-alasan pembatalan perkawinan dalam UU Nomor 1 Tahun 1974, secara limitatif diatur dalam Pasal 22 sampai 28, dan Pasal 37 dan 38 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974.
Dari pasal-pasal di atas, dapat dirinci bahwa suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila :
1. Para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.
Syarat-syarat tersebut adalah :
- Adanya persetujuan dari kedua calon mempelai.
- Untuk seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun, ia harus mendapat ijin dari kedua orang tuanya (atau wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas dalam hal orang tua sudah meninggal dunia atau tidak mampu menyatakan kehendaknya, atau oleh Pengadilan dalam hal terdapat perbedaan pendapat antara orang-orang tersebut).
- Bagi calon suami yang berumur kurang dari 19 tahun, dan calon isteri yang berumur kurang dari 16 tahun dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.
- Tidak melakukan perkawinan dengan orang-orang yang dilarang untuk kawin dengannya, yakni :
1). Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas.
2). Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping, yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya.
3). Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak
tiri.
4). Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan.
5). Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang.
6). Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin.
- Adanya perkawinan, padahal para pihak masih terikat dalam perkawinan yang sah (atau masih dalam masa iddah).
- Perkawinan dilangsungkan di muka Pegawai Pencatat Nikah yang tidak berwenang.
- Perkawinan dengan wali yang tidak sah/tidak berhak.
- Perkawinan tidak dihadiri 2 orang saksi.
- Perkawinan yang dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum/dengan paksaan.
- Perkawinan yang dilangsungkan karena terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri.
- Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan yang ditentukan.
Tentang tata cara atau prosedur pengajuan pembatalan perkawinan, diatur dalam Pasal 38 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang menentukan sbb :
1. Tatacara pengajuan permohonan pembatalan perkawinan dilakukan sesuai dengan tatacara pengajuan perceraian (ayat 2).
2. Hal-hal yang berhubungan dengan panggilan, pemeriksaan pembatalan perkawinan dan putusan Pengadilan dilakukan sesuai dengan tatacara tersebut dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 36 Peraturan Pemerintah ini (ayat 3).
Ketentuan ini mengandung arti, bahwa permohonan pembatalan perkawinan harus ditempuh sama dengan prosedur suatu “gugatan” atau “contentiuse jurisdictie” yang mendudukkan dua subjek hukum sebagai Pemohon dan Termohon dalam gugatannya, dan bukan dalam bentuk “voluntair jurisdictie”, hal ini sesuai dengan maksud Pasal 38 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Memeriksa dan mengadili permohonan pembatalan perkawinan dalam bentuk peradilan voluntair, merupakan kesalahan dalam menerapkan hukum oleh ‘judex factie’ (hakim pemeriksa).
Mengenai siapa saja yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan, Pasal 23 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 telah menegaskan ada 4 pihak, yakni :
- Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri.
- Suami atau isteri.
- Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan.
- Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 Undang-Undang ini dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan ini putus.
Tentang “pejabat yang ditunjuk”, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak menjelaskan siapa. Dalam penjelasan pasal 23 dikatakan “cukup jelas”. Sebelumnya pada Bab III tentang Pencegahan Perkawinan pada Pasal 16 ayat (2) dikatakan “mengenai pejabat yang ditunjuk sebagaimana tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan”. Namun peraturan perundang-undangan yang dimaksud belum ada hingga saat ini. Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang ini menyebut “jaksa”, tetapi jika dibandingkan dengan Pasal 73 huruf e Kompilasi Hukum Islam (Inpres Nomor 1Tahun 1991), ketika berbicara tentang pembatalan perkawinan, pada huruf c Pasal tersebut disebutkan “pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut Undang-Undang”[9].
Oleh karena itu penulis sepakat bahwa subjek yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan dapat diklassifikasikan sebagai berikut :
1. Perkawinan yang pembatalannya dapat diajukan oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri, yakni dalam hal :
a. Para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.
b. Perkawinan yang dilangsungkan di muka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang.
c. Perkawinan dengan wali nikah yang tidak sah.
d. Perkawinan yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 orang saksi.
e. Perkawinan poligami tanpa izin Pengadilan.
f. Salah satu pihak masih terikat dengan perkawinan yang lain.
g. Melanggar batas minimal umur perkawinan.
2. Perkawinan yang pembatalannya dapat diajukan oleh pihak suami atau isteri, yakni dalam hal :
a. Para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melaangsungkan perkawinan.
b. Adanya perkawinan dimana salah satu pihak masih terikat dengan perkawinan yang lain.
- Perkawinan yang dilangsungkan di muka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang.
- Perkawinan tanpa wali atau dengan wali nikah yang tidak sah.
- Perkawinan yang dilangsungkan tanpa dihadiri 2 orang saksi.
- Perkawinan yang dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum, atau karena terjadi salah sangka atau penipuan mengenai diri suami atau isteri.
3. Perkawinan yang pembatalannya dapat diajukan oleh pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut Undang-Undang.
4. Perkawinan yang pembatalannya dapat diajukan oleh jaksa, dalam hal perkawinan :
- Dilangsungkan di muka pegawai pencatat nikah yang tidak berwenang.
- Perkawinan dengan wali nikah yang tidak sah.
- Perkawinan yang dilangsungkan tanpa dihadiri 2 orang saksi[10].
Oleh karena pembatalan perkawinan harus dilakukan melalui keputusan hakim/pengadilan, maka saat mulai berlakunya pembatalan perkawinan terhitung sejak tanggal hari keputusan hakim/pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap (inkract van gewijsde). Dan keputusan itu berlaku surut sejak tanggal hari dilangsungkan perkawinan. Dengan adanya keputusan yang sudah inkracht tersebut, maka perkawinan kembali kepada keadaan semula sebelum perkawinan itu ada[11].
Mengenai akibat hukumnya, pembatalan perkawinan tidak mempunyai akibat hukum yang berlaku surut terhadap :
- Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut (Pasal 28 ayat (2) huruf a.
Menurut Yahya Harahap, hal ini pantas berdasarkan kemanusiaan dan kepentingan anak-anak, yang berarti kesalahan yang dilakukan oleh orang tua mereka tidak pantas dipikulkan kepada anak-anak yang lahir dari perkawinan yang dibatalkan, sehingga status hukum anak-anak tersebut jelas dan resmi sebagai anak sah dari orang tua mereka.
- Suami atau isteri yang beritikad baik, kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan adanya perkawinan lain yang lebih dahulu (Pasal 28 ayat (2) huruf b).
Di sini, pihak yang beritikad baik dilindungi dari segala akibat batalnya perkawinan, akibat yang tidak baik harus dipikul oleh pihak yang tidak beritikad baik yang menjadi penyebab dibatalkannya perkawinan. Tetapi sepanjang menyangkut harta bersama yang diperoleh selama perkawinan, dianggap sah sebagai harta bersama yang pemecahan pembagiannya menggunakan pedoman Pasal 37 Undang-Undang ini.
c. Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan itikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap (Pasal 28 ayat (2) huruf c).
Dalam hal ini Yahya Harahap mengatakan, segala ikatan-ikatan hukum di bidang keperdataan atau perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh suami isteri sebelum pembatalan, adalah ikatan-ikatan dan persetujuan yang sah yang dapat dilaksanakan kepada harta perkawinan atau dipikul bersama oleh suami isteri yang telah dibatalkan perkawinannya secara tanggung-menanggung (hoofdelijke), baik terhadap harta bersama maupun terhadap kekayaan masing-masing.[12]
Dari kacamata hukum Islam (yang menjadi sumber utama UU Nomor 1 Tahun 1974), Prof. Dr. Wahbah Zuhaili dan Prof. Dr. Muhammad Abu Zahroh menjelsakan, bahwa anak yang dihasilkan dari perkawinan yang dibatalkan adalah anak yang sah, baik yang yang menyebabkan batalnya perkawinan itu disepakati maupun diperselisihkan. Sebagai konsekuensi dari diakuinya keabsahan anak itu, maka ia berhak mewarisi ayah kandungnya.[13]
PENUTUP
Pembatalan perkawinan merupakan hal yang mungkin terjadi karena adanya kekhilafan atau kurangnya persyaratan-persyaratan yang tidak diketahui (atau disengaja ?) pada saat orang akan melangsungkan perkawinan. Kekhilafan atau kekurangan-kekurangan tersebut baru diketahui setelah perkawinan berlangsung.
Atas dasar itu, jika seseorang mengetahui adanya cacat –baik formil maupun materiil – yang bisa membatalkan perkawinan seseorang, apalagi hal-hal yangt menurut hukum agama tidak boleh terjadi dalam suatu perkawinan, maka orang tersebut harus segera mengambil tindakan agar perkawinan tersebut segera dapat dibatalkan, sehingga kesalahan tidak berlarut-larut. Dalam hal ini, hukum memberi jalan keluar yang tidak terlalu sulit ditempuh.
Demikian, semoga bermanfaat.
Wamena, 7 Mei 2018
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Sanusi, Prof, Dr, SH, Pengantar Ilmu Hukum dan Pengantar Tata Hukum Indonesia, Bandung: Tarsito, 1991.
Ahud Misbahuddin, Drs, Kewenangan Jaksa Untuk Mengajukan Pembatalan Perkawinan, dalam Mimbar Hukum, Nomor 39 Thn IX, 1998.
Ali Afandi, SH, Hukum Keluarga Menurut Burgerlijk Wetboek, Yogyakarta : Badan Penerbit Gajah Mada, 1964.
Mukti Arto, A, Drs, SH, Putusnya Perkawinan (diktat), Yogyakarta, tt.
Satria Effendi M. Zein, Dr. H, Analisis Fiqh, dalam Mimbar Hukum, Nomor 31 Thn. VIII, 1997.
Subekti, Prof. R dan Tjitrosudibio, R, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta : Pradnya Paramita, 1992.
Yahya Harahap, SH, Hukum Perkawinan Nasional, Medan : CV Zahir Trading Co, 1975.
Zainal Abidin Abubakar, H, SH, Kumpulan Peraturan Perundang-Undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta : Yayasan Al-Hikmah, 1995.